Selasa, 01 Maret 2011

Asal Usul Tari Gending Sriwijaya



 Di kala ku merindukan keluhuran dulu kala. Kutembangkan nyanyi dari lagu Gending Sriwijaya Dalam seni kunikmatkan lagi zaman bahagia. Kuciptakan kembali dari kandungan Mahakala. Sriwijaya dengan asrama agung Sang Mahaguru. Tutur sabda dharma phala khirti dharma khirti. Berkumandang dari puncaknya Si Guntang Maha Meru. Menaburkan tuntunan suci Gautama Budha Shanti“.  Demikian, isi bait pertama syair lagu Gending Sriwijaya, yang disusun oleh Nungcik AR pada tahun 1940-an.

Hingga hari ini kita di Sumatra Selatan masih banyak yang salah dalam memaknai dan memahami seputar`tari Gending Sriwijaya. Seperti, dikatakan bahwa tari Gending Sriwijaya itu berasal dari masa kerajaan sriwijaya atau tari Gending Sriwijaya itu adalah tarian sakral bagi Sumatra Selatan, jadi tidak boleh dipergelarkan di ruang atau alam terbuka. Tahun 1990/1991, Kantor Wilayah Depdikbud Provinsi Sumatra Selatan menerbitkan deskripsi Tari Gending Sriwijaya, yang penyuntingnya diketuai oleh Izi Asmawi (alm). Berdasarkan deskripsi itu, dikatakan bahwa tari Gending Sriwijaya adalah satu dari sekian tari sambut atau tari persembahan yang ada di Sumatra Selatan.
       Proses penciptaan tari Gending Sriwijaya sudah dimulai sejak 1943, yaitu untuk memenuhi permintaan dari pemerintah (era pendudukan Jepang), kepada Jawatan Penerangan (Hodohan) untuk menciptakan sebuah tarian dan lagu guna menyambut tamu yang datang berkunjung ke Keresidenan Palembang (sekarang Provinsi Sumatra Selatan).
Penata tarinya adalah Tina Haji Gong dan Sukainah A. Rozak, berbagai konsep telah dicari dan dikumpulkan dengan mengambil unsur-unsur tari adat Palembang yang sudah ada, dalam upaya menata tari Gending Sriwijaya ini. Pakaian dan properti yang digunakan dalam tari Gending Sriwijaya, disesuaikan dengan pakaian adat daerah dengan peralatan yang biasa digunakan pada upacara penerimaan tamu secara adat, yaitu dengan penyuguhan Tepak Sirih selengkapnya. Jumlah penari sebanyak sembilan orang sebagai simbolisasi dari Batang Hari Sembilan atau sembilan sungai yang ada di Sumatra Selatan. Maksudnya, dengan tari Gending Sriwijaya penyambutan tamu dimaksud, dilakukan atas nama seluruh daerah yang ada di wilayah Sumatra Selatan.
        Selain dari kesembilan orang penari, ada juga pengiring yaitu: seorang penyanyi yang menyanyikan lagu Gending Sriwijaya, seorang pembawa payung kebesaran, dan seorang atau dua orang lainnya adalah pembawa tombak. Musik atau lagu pengiring tari Gending Sriwijaya, dinamai (berjudul) juga lagu Gending Sriwijaya. Penciptanya adalah A. Dahlan Muhibat, seorang komposer juga violis pada group Bangsawan Bintang Berlian, di Palembang. Lagu Gending Sriwijaya, diciptakan dan digarap oleh A. Dahlan Muhibat pada tahun 1943 tepatnya dari bulan Oktober sampai dengan bulan Desamber. Ketika proses penciptaannya, pemerintah menyodorkan usul pada A. Dahlan Muhibat untuk memasukkan sebuah konsep lagu Jepang.
Karena, konsep lagu Jepang hanya berupa usulan maka oleh A. Dahlan Muhibat dipadukanlah sebuah lagu ciptaannya pada tahun 1936, yang berjudul “Sriwijaya Jaya” dengan konsep lagu Jepang itu, sehingga menjadi lagu Gending Sriwijaya seperti yang ada sekarang. Sementara, untuk syair lagu Gending Sriwijaya, dibuat oleh Nungcik AR. Dan, dengan selesainya penataan tari dan penyusunan lagu Gending Sriwijaya tersebut, maka tuntaslah proses penggarapan tari dan lagu Gending Sriwijaya, pada tahun 1944.
          Seperti yang disebutkan di dalam deskipsi Tari Gending Sriwijaya, tari Gending Sriwijaya pertama kali dipentaskan di muka umum, adalah pada tanggal 2 Agustus 1945, di halaman Mesjid Agung Palembang, yaitu ketika pelaksanaan upacara penyambutan kedatangan pejabat zaman Jepang, di Palembang, yakni M. Syafei dan Djamaluddin Adinegoro. M. Syafei, adalah Ketua Sumatora Tyuo Sangi In (Dewan Perwakilan Rakyat Sumatra), yang berkedudukan di Bukittinggi – Sumatra Barat. Sebelum masa pendudukan Jepang, M. Syafei adalah direktur perguruan INS (Indonesche School), di Kayutanam – Sumbar. Sedangkan, Jamaluddin Adinegoro adalah Ketua Dewan Harian Sumatra, seorang wartawan sekaligus sastrawan yang terkenal pada waktu itu.
        Pada saat tari Gending Sriwijaya pertama kali dipergelarkan di halaman Mesjid Agung kala itu, kesembilan orang penarinya adalah: Siti Nuraini, Rogayah H, Delima A. Rozak, Tuhfah, Halimah, Busron, Darni, Emma, dan Tuti Zahara. Dalam sejarah Festival Sriwijaya, Festival Sriwijaya 2010 yang baru lalu, tari Gending Sriwijaya tidak ditampilkan pada upacara pembukaan festival saat menyambut tamu-undangan dan peserta Festival Sriwijaya, karena salah kaprah. Dikatakan tari Gending Sriwijaya adalah tari sakral, maka tidak boleh sembarangan dipergelarkan, termasuk di alam terbuka, tari Gending Sriwijaya pernah digelar di pelataran Candi Borobudur.

Oleh: ERWAN SURYANEGARA
Penulis adalah pekerja seni